Indonesia dan BRICS: Ambil Risiko atau Langkah Cerdas?

Pernah nggak sih, kalian merasa seperti ada kesempatan besar di depan mata, tapi juga ada rasa takut gagal yang nggak bisa hilang? Bayangin aja kalau kamu ditawarin ikut tim bola yang lagi naik daun, BRICS misalnya. Di satu sisi, kamu bakal dapat kesempatan untuk berkembang bareng negara-negara besar seperti China, India, dan Brazil. Di sisi lain, ada tekanan besar buat bisa bersaing dan masuk dalam liga internasional. Itu yang mungkin sekarang dirasakan Indonesia setelah resmi bergabung dengan BRICS.

Tapi, apa sih sebenarnya yang Indonesia harapkan dengan bergabung dalam grup yang punya potensi besar ini? Apakah ini langkah cerdas atau malah bisa jadi masalah ke depan?

BRICS: Dari Awal yang Ambisius ke Komunitas Global yang Makin Berpengaruh

Sebelum ngomongin Indonesia, ada baiknya kita bahas sedikit sejarah BRICS. Awalnya, BRICS dimulai sebagai BRIC (Brazil, Rusia, India, dan China) pada awal 2000-an, dengan tujuan untuk menjadi kekuatan ekonomi alternatif di dunia yang lebih seimbang dengan dominasi Barat. Keempat negara ini punya banyak potensi—baik dari sisi pasar domestik, kekuatan industri, hingga sumber daya alam. Ketika Afrika Selatan bergabung pada 2010, grup ini berubah jadi BRICS, yang makin solid jadi blok negara berkembang dengan pengaruh besar di perekonomian global.

Meskipun bukan tanpa tantangan, BRICS memberi angin segar bagi negara-negara yang merasa terpinggirkan oleh dominasi negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Lalu, datanglah BRICS+, yang membawa negara-negara lain untuk ikut dalam forum tersebut—termasuk Indonesia yang akhirnya memutuskan untuk bergabung.

Posisi Ekonomi Indonesia: Siapa Kita di Peta Global?

Menurut Joseph Nye dalam bukunya Soft Power: The Means to Success in World Politics, BRICS ini bisa dilihat sebagai upaya buat melawan dominasi Barat dalam tatanan ekonomi global. Tapi, apakah Indonesia udah siap buat jadi bagian dari klub elite ini? 

Sekarang, mari kita lihat posisi Indonesia. Indonesia adalah negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, dan menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. Indonesia termasuk dalam kategori emerging markets yang memiliki daya tarik besar bagi investasi asing, berkat pasar domestiknya yang besar dan sumber daya alam yang melimpah.

Indonesia memiliki ekonomi terbesar di ASEAN, dengan GDP sekitar $1,4 triliun (2023). Tapi, kalau dibandingkan dengan sama Tiongkok ($18 triliun) atau India ($3,7 triliun), kita masih kalah jauh. Menurut laporan World Bank, Indonesia masih punya tantangan besar seperti ketimpangan ekonomi, infrastruktur yang belum merata, dan ketergantungan dengan ekspor komoditas. 

Laporan dari World Bank mengungkapkan beberapa isu mendasar yang menghalangi kemajuan Indonesia menuju perekonomian yang lebih berkembang. Salah satu tantangan terbesar adalah ketimpangan ekonomi. Meskipun Indonesia secara relatif telah berhasil mengurangi angka kemiskinan dalam beberapa tahun terakhir, distribusi kekayaan dan pendapatan yang tidak merata masih menjadi masalah utama. Perbedaan kesejahteraan yang mencolok antara pulau-pulau besar seperti Jawa dan luar Jawa, serta ketimpangan sosial-ekonomi antar kelompok masyarakat, memperlihatkan bahwa tidak semua lapisan masyarakat merasakan manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang ada.

Selain itu, infrastruktur Indonesia yang belum merata juga menjadi hambatan besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Meskipun pemerintah telah berinvestasi besar dalam proyek-proyek infrastruktur, masih banyak daerah yang sulit dijangkau atau belum terhubung dengan baik. Konektivitas antar wilayah yang terbatas menghambat mobilitas barang dan jasa, serta meningkatkan biaya logistik yang pada gilirannya memperlambat produktivitas nasional. Kebutuhan untuk membangun dan meratakan infrastruktur, terutama di luar pulau Jawa, menjadi sangat mendesak untuk memacu perekonomian Indonesia secara lebih efisien.

Selanjutnya, Indonesia masih sangat bergantung pada ekspor komoditas, seperti batu bara dan aneka hasil tambang lainnya. Ketergantungan ini membuat ekonomi Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga global dan membuatnya sulit untuk melakukan diversifikasi yang lebih mendalam. Sektor-sektor seperti manufaktur dan teknologi yang dapat memberi nilai tambah lebih tinggi masih kurang berkembang, meskipun ada upaya dari pemerintah untuk mengurangi ketergantungan ini. Diversifikasi ekonomi menjadi salah satu kunci untuk mengurangi risiko dan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global.

Nah, di sinilah pertanyaannya: apa iya kita udah siap bersaing dengan raksasa-raksasa ekonomi? Atau jangan-jangan kita seperti menjadi “teman ngegym” saja, sementara mereka yang betul-betul angkat beban? 

Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan oleh Robert Solow dalam artikel di jurnal ilmiahnya yang berjudul “A Contribution to the Theory of Economic Growth”, pertumbuhan ekonomi negara berkembang seperti Indonesia sangat dipengaruhi oleh investasi dalam modal fisik dan manusia. Dengan masuk ke dalam BRICS, Indonesia bisa mendapatkan akses lebih besar ke investasi dari negara-negara anggota lainnya, khususnya di sektor infrastruktur dan teknologi, yang sangat penting untuk mempercepat pembangunan di dalam negeri.

Namun, ada juga tantangan yang harus diperhitungkan. Krisis ekonomi global, yang sudah beberapa kali mengguncang pasar dunia, memberikan pelajaran penting bahwa hubungan antar negara berkembang bisa menjadi sangat rapuh. BRICS bukanlah kawasan tanpa masalah—ketegangan politik, perbedaan ekonomi antar anggotanya, dan konflik perdagangan internasional sering kali mencuat ke permukaan.

Potensi Manfaat dan Tantangan bagi Indonesia

Gabung dengan BRICS bisa memberi Indonesia sejumlah keuntungan strategis, terutama dalam hal akses ke pasar baru. Dengan menjadi bagian dari kelompok ini, Indonesia dapat memanfaatkan peluang untuk lebih mudah masuk ke pasar negara-negara anggota, seperti Tiongkok dan India. Seperti yang diungkapkan oleh Jeffrey Sachs dalam bukunya The Age of Sustainable Development, integrasi ekonomi global dapat memberikan manfaat besar bagi negara berkembang. Indonesia, dengan bergabung dalam BRICS, memiliki peluang untuk meningkatkan ekspor dan menarik lebih banyak investasi asing, yang bisa memperkuat perekonomiannya.

Selain itu, keanggotaan dalam BRICS juga menawarkan kesempatan untuk diversifikasi ekonomi. Selama ini, Indonesia sangat bergantung pada hubungan ekonomi dengan negara-negara Barat. Namun, dengan bergabung dalam BRICS, Indonesia bisa mengurangi ketergantungan tersebut dan menjalin hubungan yang lebih seimbang dengan negara-negara berkembang lainnya, yang semakin penting terutama di tengah ketegangan geopolitik antara AS dan Tiongkok. BRICS memberikan alternatif untuk membuka peluang baru dan mengurangi potensi risiko yang muncul dari ketergantungan pada ekonomi Barat.

Keanggotaan BRICS juga bisa berpengaruh positif dalam peningkatan diplomasi Indonesia di panggung global. Menurut teori Complex Interdependence karya Robert Keohane dan Joseph Nye, kerja sama ekonomi antar negara bisa menciptakan saling ketergantungan yang pada gilirannya memperkuat hubungan politik antar negara. Dengan demikian, Indonesia bisa mendapatkan leverage lebih besar dalam hubungan internasional, baik dalam hal politik maupun ekonomi. Kerja sama ini bisa memperkuat posisi Indonesia di kancah global dan memberi negara ini lebih banyak pengaruh dalam menentukan arah kebijakan internasional.

Namun, tentu saja ada beberapa tantangan yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah ketergantungan yang lebih besar pada Tiongkok, yang saat ini telah menjadi mitra dagang utama Indonesia. Gabung BRICS bisa memperburuk ketergantungan ini, dan hal ini berisiko jika hubungan politik dan ekonomi Indonesia dengan Tiongkok tidak berjalan seimbang. Ketergantungan yang terlalu besar bisa membuat Indonesia lebih rentan terhadap kebijakan luar negeri Tiongkok yang sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik dan strategis negara tersebut.

Selain itu, persaingan domestik bisa menjadi tantangan yang cukup serius. Produk-produk murah dari negara-negara anggota BRICS dapat mengancam industri lokal Indonesia, terutama di sektor-sektor seperti tekstil dan elektronik. Produk-produk dari negara-negara ini sering kali lebih kompetitif dalam hal harga, yang bisa menyebabkan industri dalam negeri kesulitan bersaing. Jika hal ini tidak dikelola dengan baik, dapat memengaruhi daya saing produk lokal Indonesia di pasar domestik dan internasional.

Terakhir, BRICS sering mendapat kritik terkait dengan kurangnya transparansi dan tata kelola yang baik. Indonesia harus sangat berhati-hati agar tidak terjebak dalam masalah-masalah governance yang sering muncul di dalam kelompok ini. Keanggotaan dalam BRICS tidak boleh membuat Indonesia mengorbankan prinsip-prinsip tata kelola yang transparan dan akuntabel yang sudah diterapkan dalam sistem domestiknya. Jika tidak dikelola dengan bijak, hal ini bisa mempengaruhi citra Indonesia di mata dunia internasional.

Secara keseluruhan, meskipun ada banyak peluang yang bisa didapatkan dari bergabung dengan BRICS, Indonesia juga harus memperhatikan dengan cermat tantangan-tantangan yang ada. Keuntungan dan risiko yang datang bersama keanggotaan ini harus dipertimbangkan dengan hati-hati agar Indonesia bisa memaksimalkan potensi positif tanpa mengabaikan potensi ancaman yang bisa muncul.

Pendapat Publik Indonesia: Antara Harapan dan Kekhawatiran

Pemerintah Indonesia nampaknya begitu optimis dengan BRICS. Menurut mantan  Menlu Retno Marsudi, keikutsertaan Indonesia dapat membawa ke “level berikutnya” dalam ekonomi global. Tapi, opini publik masih terbelah. Ada yang mengatakan bahwa dengan bergabung BRICS, negeri kita dapat menaikkan posisi tawarnya.Namun, ada juga yang berpendapat hanya menjadi ajang “geng-gengan” tanpa manfaat konkret.

Secara umum, keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS tidak lepas dari pandangan masyarakat. Beberapa kalangan menyambut baik langkah ini karena menganggap bahwa bergabung dengan BRICS akan membuka banyak peluang baru untuk Indonesia di dunia internasional, baik di sektor ekonomi maupun diplomasi. Di sisi lain, ada juga yang khawatir bahwa Indonesia bisa terperangkap dalam persaingan politik dan ekonomi antara negara-negara besar tersebut.

Studi oleh Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam buku mereka Why Nations Fail mengingatkan kita tentang pentingnya institusi yang kuat dan kebijakan yang bijak dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan domestik dan internasional. Indonesia harus menjaga agar kebijakan domestiknya tetap stabil dan mendukung pembangunan ekonomi tanpa tergantung sepenuhnya pada negara besar lainnya.

Beberapa negara yang lebih dulu bergabung dengan BRICS seperti India dan Brasil bisa memberikan pelajaran penting tentang bagaimana memaksimalkan manfaat ekonomi tanpa kehilangan identitas nasional. Tiongkok, misalnya, telah menunjukkan kemampuan luar biasa dalam memanfaatkan keanggotaan BRICS untuk meningkatkan daya saing globalnya.

Namun, Indonesia harus belajar dari studi kasus Yunani di mana penerapan kebijakan ekonomi yang terlalu bergantung pada bantuan internasional justru memicu krisis dalam jangka panjang. Oleh karena itu, Indonesia perlu memastikan bahwa meskipun bergabung dengan BRICS, kebijakan domestik tetap dapat berjalan dengan mandiri dan seimbang.

Implikasi untuk ASEAN dan Ekonomi Global

Bergabungnya Indonesia dalam BRICS punya dampak besar tidak hanya bagi negara kita, tetapi juga untuk ASEAN dan ekonomi global. Dalam konteks ASEAN, Indonesia dapat memperkuat posisi blok ini sebagai kekuatan ekonomi yang lebih berpengaruh di tingkat global. Tapi, ada juga risiko ketegangan antara kebijakan luar negeri Indonesia yang kini lebih berorientasi pada BRICS dan posisi ASEAN yang lebih menjaga hubungan seimbang dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat.

Di tingkat global, kehadiran Indonesia dalam BRICS dapat mempengaruhi arus perdagangan dan investasi internasional. Indonesia bisa menjadi penghubung penting antara dunia Barat dan dunia berkembang, memainkan peran penting dalam memperkuat perdagangan multilateral dan kerja sama antarnegara berkembang. Namun, Indonesia juga harus siap menghadapi ketidakpastian global yang sering kali melibatkan persaingan ekonomi antara blok negara besar.

Gabungnya Indonesia dalam BRICS bisa menjadi game-changer buat ASEAN. Menurut Kishore Mahbubani dalam bukunya The ASEAN Miracle, ASEAN punya potensi besar untuk menjadi kekuatan ekonomi baru. Tapi, jika Indonesia terlalu fokus ke BRICS, bisa-bisa ASEAN malah kehilangan momentum. 

Di level global, BRICS+ berpeluang dapat “menantang” dominasi Barat. Tapi, menurut laporan IMF, BRICS masih jauh dari bisa menggantikan peran G7 atau IMF dalam tatanan ekonomi global. Jadi, Indonesia harus cerdas dalam positioning diri agar tidak terjebak dalam persaingan geopolitik yang tidak jelas. 

Kesimpulan

Keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS adalah langkah besar yang penuh peluang dan tantangan. Dengan teori-teori ekonomi dan hubungan internasional sebagai landasan, Indonesia harus pintar dalam memanfaatkan kesempatan ini dengan menjaga kestabilan ekonomi domestik dan memastikan bahwa kebijakan luar negeri tetap berpihak pada kepentingan rakyat.

Jika dilakukan dengan hati-hati, BRICS bisa menjadi pintu gerbang bagi Indonesia untuk lebih berdaya saing di kancah global, sambil menjaga peran pentingnya di kawasan ASEAN. Jadi, apakah Indonesia siap untuk mengambil langkah ini? Hanya waktu yang akan memberi jawabannya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *