Deflasi 2025: Indonesia Lagi “Glow Down” atau Mau “Plot Twist”?

Bayangin, lo lagi asik nongkrong di kafe kekinian Jakarta, pesen kopi susu kekinian harganya tiba-tiba turun 30%. “Wih, akhirnya nge-cafe bisa hemat!” Tapi pas buka Twitter, tagar #PHKMassal2025 lagi trending. Wait, what’s happening? Indonesia baru aja ngalamin deflasi pertama dalam 25 tahun di Februari 2025.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), indeks harga konsumen pada Februari 2025 mengalami deflasi sebesar 0,09% secara year to year. Berdasarkan pernyataan Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, deflasi tahunan ini disebabkan oleh pemberian diskon tarif listrik.  Kendati demikian, secara nasional 16 provinsi di tanah air mengalami inflasi pada Februari 2025, sedangkan 22 provinsi lain menghadapi deflasi.

Berpijak pada data BPS, deflasi terparah di bulan itu ada di Papua Barat dengan rekor 1,98%. Adapun inflasi tertinggi dihadapi oleh Papua Pegunungan sebesar 7,99%.

Harga-harga pada turun, tapi kok malah bikin resah? Apa ini plot twist ekonomi atau sekadar glow down sementara? Yuk, kita bedah pake teori ekonomi biar nggak sekadar receh!

Deflasi itu Kayak Relationship Toxic: Turun-Turun Tapi Bikin Anxiety

Kalo kata Irving Fisher di bukunya The Theory of Interest , deflasi itu fase di mana harga barang dan jasa terus merosot—kebalikan dari inflasi yang bikin harga naik kayak harga skincare di e-commerce.

Tapi jangan seneng dulu! Deflasi itu ibarat gebetan yang tiba-tiba cold, bikin lo ngerasa “wah, hemat nih”, tapi lama-lama malah bingung: “Dia nggak minat lagi, ya?”

Deflasi adalah penurunan harga barang dan jasa secara umum dalam perekonomian. Jadi, kalau inflasi berarti harga-harga barang naik, deflasi sebaliknya, harga-harga barang turun. Ini bisa terjadi ketika permintaan terhadap barang dan jasa berkurang, atau produksi barang terlalu banyak sehingga harga jatuh. Pasti kamu pernah dengar bahwa inflasi itu bisa bikin kantong bolong, kan? Nah, deflasi juga nggak kalah berbahaya, karena dapat memicu penurunan konsumsi dan pertumbuhan ekonomi.

Menurut ekonom Irving Fisher, deflasi bisa menjadi efek domino yang merugikan ekonomi. Ketika harga barang terus turun, orang jadi ragu untuk belanja dan menunda pembelian, yang justru bikin perekonomian semakin lesu. Sederhananya, deflasi yang berlarut-larut bisa mematikan semangat konsumen, dan pada akhirnya berdampak pada dunia usaha.

John Maynard Keynes pernah ngingetin soal paradox of thrift: saat harga turun, orang malah nunda belanja karena nunggu lebih murah. Ujung-ujungnya, permintaan ambruk, produksi di-pause, PHK merajalela. Yikes!

Lah, Kok Bisa Indonesia Kena Deflasi?

Plot twist 2025 ini bukan tanpa alasan. Pertama, gelombang resesi global lagi nge-hantam. IMF udah prediksi Eropa dan AS bakal recession di 2025, jadi permintaan ekspor komoditas Indonesia kayak batubara dan CPO anjlok. Harga pun ikut drowning.

Kedua, disrupsi teknologi yang overdrive. Konon, pabrik-pabrik di Jawa Timur udah full pake robot dan AI, biaya produksi emang turun, tapi lapangan kerja buat anak muda makin susah. Joseph Stiglitz di Globalization and Its Discontents bilang, teknologi itu double-edged sword: efisiensi naik, tapi job market jadi kayak survival game buat Gen Z.

Jangan lupa, pemerintah juga ikut “berkontribusi” lewat kebijakan austerity. Tahun 2024, mereka cut subsidi BBM dan listrik ala Milton Friedman (Monetarist Theory), biar utang negara nggak makin gendut. Tapi efek sampingnya? Daya beli masyarakat melemah, harga barang ikut turun. Vibe check ekonomi langsung merah!

Pemerintah: Savior atau Silent Killer?

Bank Indonesia (BI) sempat dielu-eluin karena sukses tekan inflasi di 2024 dengan naikin suku bunga ke 7%. Tapi kata Paul Krugman di bukunya End This Depression Now!, kebijakan bunga tinggi itu kayak toxic positivity: keliatannya solutif, tapi malah bikin uang mandek di bank. Alih-alih ekonomi spin, malah stuck di deflasi. Belum lagi program digital tax buat startup unicorn kayak Gojek dan Tokopedia, yang akhirnya bikin mereka restructure—baca: PHK massal anak muda. Gen Z mana bisa tenang?

Buat Gen Z: Deflasi itu Blessing atau Silent Killer?

Okay, let’s break it down. Di satu sisi, hidup emang lebih murah: sewa kosan di Jakarta turun beberapa persen, harga second iPhone bisa affordable buat yang doyan gadget.

Tapi di sisi lain, job market jadi neraka. Lowongan magang di startup saingannya kayak concert ticket Coldplay—scroll LinkedIn aja udah bikin insecure. Gaji part-time di sektor retail juga stagnan, padahal biaya hidup tetep ada.

Nih, contoh nyata: Jepang di era Lost Decade (1990-an) ngerasain deflasi panjang. Anak mudanya jadi freeter—kerja serabutan tanpa jaminan masa depan. Ngeri kan? Kalo Indonesia nggak hati-hati, kita bisa jadi generasi yang stuck di gig economy tanpa stabilitas.

Lalu, Gimana Cara Fix Ini?

Pertama, pemerintah harus berani inject duit ke sektor produktif, kayak proyek infrastruktur atau energi terbarukan. Konsep Keynesian stimulus ini udah terbukti pas AS recover dari resesi 2008 lewat quantitative easing. Bayangin kalo Indonesia bangun PLTS di NTT atau data center di Batam—bisa buka lapangan kerja buat Gen Z!

Kedua, BI perlu turunin suku bunga pelan-pelan. Biar duit bisa muter lagi di pasar, dan usaha kecil-kecilan bisa napas.

Terakhir, dorong talenta digital. India aja bisa jadi raksasa IT karena investasi di pendidikan coding. Thomas Piketty di Capital in the Twenty-First Century bilang, kuncinya itu investasi di SDM muda. Mungkin Indonesia perlu launch program beasiswa AI atau Web3 buat Gen Z.

Kesimpulan: Jangan Cuma Jadi Penonton!

Menghadapi deflasi, langkah yang harus diambil bukan hanya peran aktif pemerintah, tetapi juga partisipasi aktif masyarakat. Menurut Teori Monetaris dari Milton Friedman, kebijakan moneter yang longgar—seperti menurunkan suku bunga dan menambah likuiditas—dapat merangsang permintaan dan mengurangi dampak deflasi. Namun, ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak memicu inflasi berlebihan di kemudian hari.

Selain itu, penting juga untuk mendorong sektor-sektor ekonomi yang lebih berbasis teknologi dan inovasi agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan. Misalnya, pengembangan sektor fintech, e-commerce, dan ekonomi hijau bisa menjadi sektor-sektor yang memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia tanpa terjebak dalam jebakan deflasi.

Secara keseluruhan, deflasi di Indonesia ini memberi kita pelajaran penting: ekonomi itu seperti ekosistem yang saling terkait. Satu perubahan kecil di satu bagian bisa berdampak besar di bagian lain. Sebagai Gen Z, kita harus paham bahwa meskipun harga barang lebih murah, itu nggak selalu berarti kita untung. Kita harus belajar untuk tetap bijak dalam menghadapi perubahan ekonomi, dan tentu saja, mendukung kebijakan pemerintah yang bisa mendorong stabilitas ekonomi jangka panjang.

Deflasi 2025 ini bukan akhir dunia, tapi warning sign buat kita semua. Buat Gen Z, ini saatnya hustleupskill di bidang digital, buka side hustle, atau jadi aktivis yang kritisi kebijakan ekonomi.

Pemerintah juga jangan cuma sleeping on the job—harus kolaborasi sama anak muda biar ekonomi nggak glow down terus. Kaya kata Tulus: “Jangan mau-maunya aja!”

Jadi, apakah deflasi ini sebuah kesempatan atau tantangan besar bagi kita? Mungkin jawabannya bergantung pada bagaimana kita merespons dan beradaptasi dengan situasi yang ada.

So, let’s turn this deflation era into a momentum. Siapa tau 2025 jadi tahun di mana Gen Z bikin sejarah baru? 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *