Dukungan Pemerintah untuk Asosiasi Kreator Konten: Langkah Maju atau Sekadar Gimmick?

Di tengah riuhnya dunia maya yang terus berkembang, satu hal yang sangat jelas: konten adalah raja. Dari TikTok, Instagram, hingga YouTube, kreator konten telah menjadi kekuatan besar yang tak bisa diabaikan.

Pernahkah Anda membayangkan bagaimana jika semua kreator konten di Indonesia bersatu dalam satu asosiasi? Seperti Avengers, tapi versi TikTokers, YouTubers, dan Instagrammers. Apa yang akan terjadi? Apakah mereka akan menjadi kekuatan super yang mampu mengubah industri kreatif Indonesia, atau justru terjebak dalam konflik internal yang tak berujung? Sejauh mana pemerintah Indonesia akan mendukung para kreator ini?

Pertanyaan ini tidak sekadar tebak-tebakan, tetapi sudah menjadi realita yang sedang diwujudkan oleh pemerintah Indonesia. Namun, apa sebenarnya tujuan di balik pembentukan asosiasi ini? Apa manfaatnya, dan apa tantangannya? Mari kita bahas bersama!

Latar Belakang: Bangkitnya Era Kreator Konten di Indonesia

Indonesia, dengan lebih dari 280 juta penduduk dan penetrasi internet yang terus berkembang, telah menjadi “surge” bagi kreator konten. Menurut laporan We Are Social dan Hootsuite, lebih dari 160 juta orang Indonesia aktif di media sosial. Tren ini semakin didorong oleh meningkatnya minat masyarakat terhadap platform berbagi video, vlog, dan konten interaktif lainnya. Dari yang awalnya hanya sebagai hobi, banyak kreator konten kini bisa meraih penghasilan yang signifikan, bahkan menjadikan ini sebagai karier utama. Hal ini menciptakan peluang baru bagi ekonomi digital Indonesia, yang kini menjadi sektor penting dalam pertumbuhan ekonomi.

Industri kreatif di Indonesia agaknya memang sedang berada di puncak kejayaannya. Menurut laporan Kementerian Ekonomi Kreatif, sektor ekonomi kreatif menyumbang sekitar 7,4% dari PDB Indonesia pada tahun 2022. Kreator konten telah menjadi salah satu pilar utama, terutama sejak pandemi yang membuat semua orang semakin melek digital. Dari TikTok hingga YouTube, kreator konten telah menjadi “selebriti baru” yang memiliki pengaruh besar bagi generasi Z dan milenial.

Namun, di balik kesuksesan itu, ada banyak masalah yang dihadapi oleh kreator, mulai dari masalah hak cipta, monetisasi, hingga tekanan mental karena tuntutan algoritma. Ada kebutuhan akan regulasi yang jelas, serta ruang bagi para kreator untuk berkembang secara berkelanjutan Di sinilah peran pemerintah masuk. Dengan terbentuknya Asosiasi Kreator Konten Indonesia (AKKI), pemerintah sepertinya ingin memberikan wadah untuk mengatasi masalah-masalah ini. Namun, apa sebenarnya tujuan kebijakan ini?

Tujuan Kebijakan: Apa yang Ingin Dicapai?

Menurut teori kebijakan publik yang diungkapkan oleh Thomas R. Dye dalam bukunya Understanding Public Policy, setiap kebijakan pasti memiliki tujuan tertentu. Dalam konteks asosiasi kreator konten, ada beberapa tujuan yang mungkin menjadi prioritas.

Misalnya, regulasi dan perlindungan hak cipta. Asosiasi bisa menjadi mediator antara kreator dan platform digital untuk mengatur hak cipta dan royalti. Ini sangat penting, mengingat kasus pembajakan konten masih marak di Indonesia.

Selanjutnya adalah peningkatan kapasitas. Pemerintah mungkin ingin membuat program pelatihan untuk meningkatkan keterampilan kreator, seperti editing, branding, atau bahkan manajemen keuangan. Ini sejalan dengan teori human capital yang dicetuskan oleh Gary Becker, di mana investasi dalam sumber daya manusia dapat meningkatkan produktivitas.

Tak kalah penting, adalah promosi industri kreatif. Asosiasi bisa menjadi wadah untuk mempromosikan konten lokal ke kancah internasional. Ini sejalan dengan konsep nation branding yang dijelaskan oleh Simon Anholt dalam bukunya Competitive Identity.

Berdasarkan teori kebijakan publik yang dikemukakan oleh James E. Anderson dalam bukunya Public Policymaking: An Introduction, kebijakan publik pada umumnya bertujuan untuk mengatasi masalah tertentu dengan cara yang terstruktur dan sistematis. Dalam konteks ini, tujuan pembentukan asosiasi kreator konten bisa mencakup beberapa aspek penting.

Pertama, asosiasi kreator konten dapat berfungsi sebagai upaya untuk melindungi dan memproteksi hak-hak kreator. Di dunia yang semakin dinamis ini, para kreator sering kali menghadapi tantangan terkait dengan pengelolaan hak cipta, pembajakan, dan pelanggaran privasi. Oleh karena itu, asosiasi dapat menjadi wadah yang tidak hanya melindungi hak-hak tersebut, tetapi juga memberikan edukasi tentang pentingnya perlindungan kekayaan intelektual. Konsep ini sejalan dengan teori ekonomi hak cipta yang dijelaskan oleh William M. Landes dan Richard A. Posner dalam The Economic Structure of Intellectual Property Law, yang menekankan pentingnya pengelolaan hak cipta untuk mendukung kreativitas dan inovasi.

Selain itu, pembentukan asosiasi ini juga memiliki potensi untuk memberdayakan ekonomi digital. Asosiasi kreator konten dapat menjadi sarana untuk memperkuat industri kreatif digital di Indonesia, yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan negara melalui pajak serta menarik lebih banyak investasi. Dengan adanya asosiasi, kreator konten akan lebih mudah mengakses peluang kerjasama dengan merek atau perusahaan besar, yang membuka peluang baru untuk pengembangan ekonomi digital.

Tidak kalah penting, asosiasi kreator konten juga dapat berperan dalam menciptakan regulasi yang lebih terarah dan sesuai dengan kebutuhan industri kreatif. Dalam jangka panjang, asosiasi ini dapat menjadi saluran dialog antara kreator konten dan pemerintah, yang berfungsi untuk memastikan bahwa regulasi yang ada mendukung pertumbuhan industri. Ini sejalan dengan konsep “public goods” yang dijelaskan oleh Paul A. Samuelson dalam teori ekonomi publiknya, yang menekankan pentingnya menciptakan kebijakan publik yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Dengan demikian, pembentukan asosiasi kreator konten tidak hanya bertujuan untuk melindungi kepentingan individu kreator, tetapi juga dapat memberikan kontribusi positif bagi perkembangan industri kreatif dan ekonomi digital secara keseluruhan.

Manfaat dan Konflik: Dua Sisi Mata Uang

Tentu saja, setiap kebijakan memiliki keuntungan dan tantangan. Mengenai manfaat, asosiasi kreator konten bisa menawarkan banyak hal positif. Salah satunya adalah pembangunan ekosistem ekonomi digital yang lebih inklusif. Dengan adanya asosiasi, para kreator dapat saling berbagi informasi dan pengalaman, menciptakan kolaborasi yang lebih solid, dan mendukung pengembangan bakat-bakat baru di industri ini. Dalam teori ekonomi jaringan yang dikemukakan oleh Albert-László Barabási dalam bukunya Linked: The New Science of Networks, jaringan yang solid dapat memperkuat kolaborasi antar individu dan menciptakan hasil yang lebih produktif.

Asosiasi bisa menjadi tempat untuk berbagi sumber daya, kolaborasi, dan advokasi. Namun, tidak semua hal mungkin langsung berjalan mulus. Menurut Mancur Olson dalam bukunya The Logic of Collective Action, asosiasi bisa terjebak dalam masalah free rider problem, di mana beberapa anggota hanya ikut nama tanpa memberikan kontribusi.

Namun, ada juga konflik yang mungkin muncul. Salah satunya adalah kontroversi regulasi. Dalam dunia yang cepat berubah, kebijakan yang diterapkan pemerintah atau asosiasi mungkin tidak selalu sejalan dengan kebutuhan kreator, terutama terkait dengan kebebasan berekspresi atau batasan dalam konten yang dianggap sensitif. Seperti yang diungkapkan oleh Cass R. Sunstein dalam bukunya Free Markets and Social Justice, kebijakan publik yang terlalu mengatur bisa menekan kreativitas individu. Asosiasi harus berhati-hati agar tidak membatasi kebebasan para kreator dalam berinovasi.

Selain itu, konflik internal juga bisa muncul, terutama terkait perbedaan kepentingan. Misalnya, kreator besar mungkin ingin fokus pada monetisasi, sementara kreator kecil lebih membutuhkan dukungan untuk berkembang. Hal ini bisa membuat asosiasi menjadi tidak efektif jika tidak dikelola dengan baik.

Masa Depan Asosiasi: Evolusi atau Stagnasi?

Jika kita melihat ke depan, bagaimana kira-kira asosiasi kreator konten ini akan berkembang? Berdasarkan teori perubahan sosial dari Anthony Giddens dalam bukunya Sociology, perubahan dalam masyarakat digital akan terus berlangsung dengan cepat. Oleh karena itu, asosiasi kreator konten juga akan terus beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan para anggotanya. Ke depan, asosiasi ini mungkin akan lebih terlibat dalam aspek pembentukan standar global untuk industri kreatif digital, menjadikan Indonesia sebagai pusat industri kreatif digital di Asia Tenggara.

Selain itu, kita mungkin akan melihat asosiasi ini bertransformasi menjadi platform pendidikan yang tidak hanya melindungi hak-hak kreator, tetapi juga memberikan pelatihan dan akses ke teknologi terbaru, yang akhirnya mendukung para kreator untuk berkembang lebih jauh. Ini sejalan dengan teori human capital ala Gary Becker yang menyatakan bahwa investasi dalam pendidikan dan keterampilan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Asosiasi kreator konten bisa berkembang menjadi kekuatan yang tidak bisa dianggap remeh. Menurut Clayton Christensen dalam teori Disruptive Innovation, asosiasi bisa menjadi disruptor baru dalam industri kreatif jika mampu mengadopsi teknologi dan tren terbaru. Misalnya, dengan mengadopsi AI untuk analisis data konten atau mengembangkan platform sendiri untuk monetisasi.

Namun, evolusi ini tidak akan terjadi jika asosiasi hanya menjadi “teman baik” pemerintah tanpa ada kritik atau evaluasi. Mengacu pada best practices global, kita bisa melihat bagaimana asosiasi kreator konten di negara lain, seperti Content Creators Alliance di Amerika Serikat, telah membantu para kreator dalam melindungi hak cipta mereka dan mendapatkan akses ke peluang ekonomi yang lebih baik. Melalui dialog yang berkelanjutan dengan pemerintah dan sektor swasta, asosiasi ini berhasil menciptakan ruang yang lebih aman dan menguntungkan bagi kreator konten. Pelajaran yang bisa diambil adalah pentingnya kolaborasi antara sektor publik dan swasta dalam menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan industri kreatif.

Kita juga dapat belajar dari  YouTube Creators for Change atau TikTok Creator Collective sebagai menjadi acuan untuk mengembangkan asosiasi yang lebih inklusif dan transparan.

Agar asosiasi ini sukses, pemerintah dan komunitas kreator harus berkolaborasi dengan baik. Pertama, asosiasi harus memiliki struktur kepengurusan yang jelas dan transparan. Kedua, perlu ada mekanisme untuk mengatasi konflik internal, seperti sistem voting atau mediasi. Terakhir, asosiasi harus aktif mengadopsi teknologi dan tren terbaru agar tidak ketinggalan zaman.

Menurut Joseph Schumpeter dalam teorinya tentang Creative Destruction, inovasi adalah kunci untuk bertahan di industri yang terus berubah. Jadi, asosiasi kreator konten harus bisa menjadi wadah untuk memberikan ruang bagi inovasi dan kreativitas, bukan sekadar formalitas.

Kesimpulan

Pemerintah Indonesia kini berada di persimpangan jalan yang sangat penting. Pembentukan asosiasi kreator konten dapat menjadi langkah besar dalam mendukung perkembangan ekonomi digital yang inklusif dan berkelanjutan. Namun, tantangan regulasi dan potensi konflik antara kebebasan kreator dengan kebijakan pemerintah harus dihadapi dengan bijak. Seiring waktu, asosiasi ini harus berkembang menjadi lembaga yang tidak hanya melindungi hak-hak kreator, tetapi juga mendorong inovasi dan mendukung pertumbuhan ekonomi digital Indonesia. Sebagai negara dengan potensi besar di dunia digital, Indonesia memiliki peluang untuk menjadi pemimpin dalam industri kreatif global.

Jadi, mari kita lihat bagaimana ceritanya ke depan. Siapa tahu, asosiasi ini akan menjadi Avengers-nya industri kreatif Indonesia! 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *