Bayangin, gengs! Lo lagi belajar buat UTBK di sekolah, tiba-tiba listrik padam. “Ah, mungkin PLN lagi gangguan,” pikir lo. Tapi besoknya, guru bilang anggaran sekolah dipotong, lab komputer ditutup, dan beasiswa ilang. Wait, ini bukan gangguang PLN—ini gangguang masa depan!
Gerakan #IndonesiaGelap meletus awal 2025, ribuan mahasiswa dan pelajar turun ke jalan protes pemotongan anggaran pendidikan oleh Presiden Prabowo. Apa mereka lebay? Atau ini krisis yang beneran viral-worthy? Yuk, kupas pake beberapa teori biar gak sekadar clout chasing!
Apa Itu Demo #IndonesiaGelap dan Kenapa Bisa Viral?
Bayangin, lo lagi scroll TikTok, tiba-tiba muncul video ribuan mahasiswa bawa obor di depan Istana, teriak “Pendidikan Bukan Diskon!”. Ini bukan adegan Hunger Games, tapi gerakan #IndonesiaGelap yang meledak awal 2025. Demo ini dipicu kontroversi keputusan Presiden Prabowo memotong anggaran pendidikan dalam APBN. Alasannya? “Efisiensi anggaran”. Tapi, rakyat nggak mau dibegitukan: aksi ini meluas ke 50 kota, dari Jakarta sampai Sorong, dengan partisipasi 500 ribu pelajar dan aktivis menurut laporan beberapa media.
Kalo kata Amartya Sen dalam Development as Freedom, pendidikan adalah “kebebasan instrumental” yang menentukan kualitas hidup. Riset Bank Dunia (2025) nunjukkin, negara dengan alokasi pendidikan di bawah 15% APBN cenderung punya pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang lelet. Indonesia sendiri pernah jaya di era 2000-an karena anggaran pendidikan 20% bikin akses sekolah dasar merata. Sekarang, langkah Prabowo dianggap step back yang bikin masa depan Indonesia glow down.
Tapi kenapa demo ini bisa sebesar itu? Jawabannya: keputusasaan generasi Z. Mereka sadar, potongan anggaran berarti beasiswa dikit, fasilitas sekolah ambruk, dan lapangan kerja makin susah. Kalo kata riset LPEM UI, 70% Gen Z merasa pendidikan adalah “tiket keluar” dari kemiskinan. Tanpa itu, mereka cuma jadi generasi stuck di lingkaran gig economy.
Keputusan Prabowo: Efisiensi atau Pembodohan Sistematis?
Mari kita coba memahami alasan di balik keputusan Presiden Prabowo untuk memotong anggaran pendidikan. Dalam teori ekonomi klasik, dikenal ada konsep alokasi anggaran yang berbasis pada prioritas kebutuhan ekonomi nasional. Dalam konteks ini, Prabowo mungkin mempertimbangkan adanya kebutuhan mendesak untuk mengalokasikan dana ke sektor lain yang juga vital, seperti infrastruktur, pertahanan, atau kesehatan.
Namun, keputusan ini bisa saja berbenturan dengan teori Ekonomi Pembangunan yang diajukan oleh ekonom terkenal, Amartya Sen. Sen mengemukakan bahwa pembangunan sejati bukan hanya terletak pada angka-angka ekonomi, melainkan pada peningkatan kualitas hidup manusia, salah satunya melalui pendidikan. Dengan kata lain, pengurangan anggaran pendidikan dalam jangka panjang berpotensi menurunkan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia), yang merupakan modal utama bagi pembangunan jangka panjang.
Prabowo berargumen pemotongan ini perlu buat “menyelamatkan APBN” yang defisit akibat resesi 2025. Dia pake teori Adam Smith (The Wealth of Nations) soal efisiensi fiskal: “pemerintah harus hemat biaya publik”. Tapi, konsep Smith ini udah outdated di abad 21. Joseph Stiglitz (The Price of Inequality) bilang, austerity cuma bikin kesenjangan makin lebar—kayak di Yunani 2010, di mana pemotongan anggaran pendidikan bikin pengangguran pemuda naik ke 58%!
Di Indonesia, dampaknya lebih ngeri: sekolah di Papua kehilangan akses listrik dan internet, beasiswa KIP-Kuliah dipangkas 40%, dan guru honorer digaji seadanya kendati belakangan dibantah oleh Sekretaris Jenderal Kemendikti Saintek, Togar M Simatupang. Kalo anggaran dipotong, Indonesia bisa kehilangan potensi pertumbuhan 5% per tahun. Ini efisiensi atau bunuh diri nasional?
Prabowo juga dianggap hipokrit: anggaran pertahanan malah naik di APBN 2025. Padahal, Max Weber (Politics as a Vocation) bilang, legitimasi pemerintah bergantung pada kesejahteraan rakyat, bukan kekuatan militer. Masyarakat pun nyinyir: “Daripada beli jet tempur, mending bangun lab komputer biar anak muda nggak kudet!”
Strategi Komunikasi: Dari TikTok ke Lobi Kampus
Gerakan ini nggak cuma demo fisik. Gen Z pakeTikTok buat bikin konten viral: ada yang rekam sekolah ambruk di NTT, ada yang edit video parody lagu “Indonesia Raya” versi dark academia. Hasilnya, tagar #IndonesiaGelap jadi trending di Twitter/X selama beberapa hari, dengan jutaan tweet tweet.
Teori Manuel Castells (Networks of Outrage and Hope) cocok banget ngejelasin fenomena ini: gerakan sosial modern bergantung pada digital commons. Contoh suksesnya? Gerakan mahasiswa Chile 2019 (#EvasionMasiva) yang pake meme dan konser underground buat protes kenaikan tarif transportasi. Indonesia belajar dari situ: misalnyam kolaborasi sama influencer kayak Aurélie Moeremans buat bikin kampanye edukasi anggaran lewat Instagram Live.
Tapi, nggak semua strategi berhasil. Upaya lobi ke kampus-kampus elite malah ketemu resistensi. Bahkan rektor salah satu PTN sempat bilang, “Jangan politicize pendidikan.” Padahal, menurut Paulo Freire (Pedagogy of the Oppressed), pendidikan itu memang harus politis—sebab ia adalah alat pembebasan.
Respons Pemerintah: Janji Palsu atau Real Action?
Sejauh ini, pemerintah tampaknya tidak memberikan respons yang jelas terhadap tuntutan demonstran. Sebagai contoh Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan bilang, “Kalau ada yang mengatakan Indonesia gelap, itu sebenarnya yang gelap itu kamu, bukan Indonesia,” kata Luhut.
Sementara itu, Ketua MPR RI Ahmad Muzani memaklumi aksi mahasiswa bertajuk “Indonesia Gelap”. Menurutnya, pemerintahan Prabowo masih di tahap awal, sehingga kebijakan yang dikeluarkan sering mengejutkan masyarakat.
Tanggapan yang datang cenderung lebih kepada pernyataan umum yang mengklaim bahwa pengurangan anggaran ini diperlukan untuk mengoptimalkan sektor-sektor lain yang juga penting bagi kemajuan bangsa. Sayangnya, janji ini dianggap cheap talk ala Public Choice Theory (James Buchanan)—politik pencitraan tanpa komitmen nyata.
Masa Depan Indonesia: Collapse atau Bangkit?
Konsekuensi jangka panjangnya grim. Gary Becker (Human Capital Theory) bilang, potongan anggaran pendidikan sama aja kaya cutting the roots of a tree: ekonomi Indonesia bisa stagnan 10-20 tahun. Bahkan menurut riset salah satu Lembaga kredibel, tanpa intervensi, Indonesia bakal kalah saing dari Vietnam di sektor teknologi pada 2035.
Tapi, ada harapan! Gerakan #IndonesiaGelap udah jadi wake-up call. Contoh sukses dari Korea Selatan: di era 1980-an, mahasiswa turun jalan desak pemerintah alokasikan 20% APBN buat pendidikan. Hasilnya? Korsel jadi raksasa teknologi dunia. Indonesia bisa tiru jalan ini—asal pemerintah stop jadi boomer dan dengerin suara anak muda.
Kuncinya? Kolaborasi. Pemerintah harus buka data APBN transparan, libatkan aktivis dalam perumusan kebijakan, dan genjot anggaran pendidikan minimal 20%. Kalo kata Najwa Shihab: “Masa depan cerah butuh keberanian ngubah kebijakan zaman baheula.”
Kesimpulan
Protes “Indonesia Gelap” ini menggambarkan keresahan yang mendalam terhadap masa depan pendidikan di Indonesia. Kontroversi pemotongan anggaran pendidikan yang dilakukan oleh Presiden Prabowo menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi haruslah memikirkan dampak jangka panjang, bukan hanya memenuhi kebutuhan sektoral dalam jangka pendek. Pendidikan adalah investasi utama untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas, dan jika hal ini diabaikan, maka masa depan bangsa bisa terancam.
Sebagai masyarakat, kita harus terus mengawal kebijakan-kebijakan ini dan memastikan bahwa suara-suara kita tidak hanya didengar, tetapi juga dihargai. Jika kita ingin Indonesia yang terang, kita harus memastikan bahwa pendidikan tetap menjadi prioritas utama. Indonesia Gelap bukan hanya sekadar slogan, tetapi panggilan untuk kita semua agar lebih peduli terhadap masa depan negeri ini.
Demo #IndonesiaGelap bukan sekadar aksi baper—ini pertaruhan masa depan. Gen Z nggak mau dijadiin tumbal efisiensi fiskal. Kalo pemerintah tetap nge-gaslight, siap-siap aja Indonesia jadi negara failed state yang cuma bisa jualan meme di TikTok.
#JanganMainPotongAnggaran #IndonesiaGelap


Leave a Reply